MENUJU PENINGKATAN KUALITAS PENGELOLAAN ZAKAT


Sebuah Masukan untuk BAZNAS Kota Bima

A. MASALAH ZAKAT PROFESI

    Dalam Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia Ke-6 Tahun 2018 Tentang Membayar Zakat Penghasilan Sebelum Terpenuhi Syarat Wajib, disebutkan ketentuan hukumnya:

    1. Setiap muslim yang memiliki penghasilan yang mencapai Nisab di
      setiap bulannya maka dia boleh membayar zakat meskipun belum
      mencapai satu tahun.
    2. Setiap muslim yang memiliki penghasilan dalam satu tahunnya
      mencapai Nisab boleh dikeluarkan zakat penghasilannya setiap
      bulan sebagai titipan pembayaran zakat.
    3. Titipan zakat penghasilan sebagaimana dimaksud angka 2 baru
      berstatus sebagai harta zakat dan boleh ditasarufkan kepada mustahiq setelah mencapai nisab.
    4. Dalam hal penghasilan orang yang dimaksud dalam angka 2 tidak
      mencapai nisab pada akhir tahun, maka uang yang dibayarkan dinyatakan sebagai infak/shodaqah berdasarkan perjanjian.
    5. Untuk mengetahui bahwa seseorang memiliki penghasilan tahunan yang mencapai nisab, maka negara mengidentifikasi aparatur
      negara yang wajib zakat.
    6. Setiap muslim yang memiliki penghasilan tidak mencapai Nisab,
      baik sebelum maupun setelah haul maka tidak wajib zakat.
    7. Setiap muslim yang sudah membayarkan titipan cicilan zakat maka baginya telah gugur kewajiban zakatnya.

    Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia Ke-6 Tahun 2018 Tentang Obyek Zakat Penghasilan, dengan Ketetapan Hukum sebagai berikut:

    1. Komponen penghasilan yang dikenakan zakat meliputi setiap pendapatan seperti gaji, honorarium, upah, jasa, dan lain lain yang diperoleh dengan cara halal, baik rutin seperti pejabat negara, pegawai atau karyawan, maupun tidak rutin seperti dokter, pengacara, konsultan, dan sejenisnya, serta pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya.
    2. Dengan demikian, obyek zakat bagi pejabat dan aparatur negara termasuk tetapi tak terbatas pada gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji pokok, tunjangan kinerja, dan penghasilan bulanan lainnya yang bersifat tetap.
    3. Penghasilan yang wajib dizakati dalam zakat penghasilan adalah penghasilan bersih, sebagaimana diatur dalam fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2003.
    4. Penghasilan bersih sebagaimana yang dimaksud pada nomor 3 ialah penghasilan setelah dikeluarkan kebutuhan pokok (al haajah al ashliyah).
    5. Kebutuhan pokok yang dimaksud pada nomor 4 meliputi;

    a. kebutuhan diri terkait sandang, pangan, dan papan;

    b. kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya, termasuk kesehatan dan pendidikannya;

    • Kebutuhan pokok sebagaimana dimaksud pada nomor 4 didasarkan pada standar Kebutuhan Hidup Minimum (KHM);
    • Kebutuhan pokok pokok sebagaimana dimaksud pada nomor 4 adalah Penghasilan Tidak Kena Zakat (PTKZ);
    • Pemerintah menetapkan besaran kebutuhan pokok sebagaimana dimaksud nomor 4, yang menjadi dasar dalam menetapkan apakah seseorang itu wajib zakat atau tidak.

    Oleh karena itu, hal yang kami usulkan sebagai berikut:

    1. Standar nishob harus kontekstual dan riil dengan merujuk harga emas saat ini yaitu 1,1 juta.[1] Nishob 85 gram emas. Sehingga nishob gaji selama setahun (12 bulan) sejumlah Rp. 93. 500.000. Dengan demikian zakat profesi dikenakan kepada pegawai yang bergaji perbulan mulai dari Rp. 7.791.666 atau dibulatkan menjadi Rp. 7.792.000.
    2. Penghasilan yang wajib dizakati dalam zakat penghasilan adalah penghasilan bersih,[2] sebagaimana diatur dalam fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2003. Penghasilan bersih ialah penghasilan setelah dikeluarkan kebutuhan pokok (al haajah al ashliyah). Dalam hal ini kecukupan kebutuhan dasar (dharuriyat dan hajiyat) untuk menjadi acuan mustahiq zakat, merujuk pada Had Kifayah yang telah ditetapkan untuk NTB adalah sebesar Rp. 3,662,523.

    Catatan: Acuan zakat penghasilan berdasar penghasilan bersih lebih kuat dalilnya daripada berdasar pendapatan kotor (bruto). Di samping hal ini sesuai dengan Fatwa MUI no. 3 tahun 2003 dan Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia Ke-6 Tahun 2018, juga didasarkan pada firman Allah:

    يَسۡ‍َٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡخَمۡرِ وَٱلۡمَيۡسِرِۖ قُلۡ فِيهِمَآ إِثۡمٞ كَبِيرٞ وَمَنَٰفِعُ لِلنَّاسِ وَإِثۡمُهُمَآ أَكۡبَرُ مِن نَّفۡعِهِمَاۗ وَيَسۡ‍َٔلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَۖ قُلِ ٱلۡعَفۡوَۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمُ ٱلۡأٓيَٰتِ لَعَلَّكُمۡ تَتَفَكَّرُونَ ٢١٩

    Artinya: “Mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.“ (QS. Al-Baqarah: 219)

    Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan bahwa menurut Ibnu Abbas, al-‘Afw adalah “sesuatu yang lebih dari kebutuhan keluarga”. Demikian juga diriwayatkan dari Ibnu Umar, Mujahid, ‘Atha, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Muhammad bin Ka’ab, Hasan, Qatadah, Qasim, Salim, ‘Atha Khurasani, Rabi’ah bin Anas, dan lainnya berpendapat bahwa arti al-‘Afwu dalam ayat tersebut adalah “lebih”.

    Hal ini juga ditunjukkan di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Abu Hurairah:

    قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللهِ عِنْدِي دِينَارٌ قَالَ أَنْفِقْهُ عَلَى نَفْسِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ أَنْفِقْهُ عَلَى أَهْلِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ أَنْفِقْهُ عَلَى وَلَدِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ فَأَنْتَ أَبْصَرُ.

    Artinya: “Seorang laki-laki berkata: Wahai Rasulullah, saya memiliki satu dinar. Lalu Rasulullah saw menjawab: Nafkahkanlah untuk dirimu sendiri. Ia berkata lagi: Saya mempunyai yang lain lagi. Rasulullah saw menjawab: Nafkahkanlah kepada keluargamu. Ia berkata lagi: Saya mempunyai yang lain lagi. Rasulullah saw menjawab: Nafkahkanlah kepada anakmu. Ia berkata lagi: Saya mempunyai yang lain lagi. Rasulullah saw menjawab: Kau (berarti sudah) mempunyai kelapangan.”

    Hadis ini juga diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan seseorang, istri, dan anaknya lebih didahulukan daripada kebutuhan orang lain.

    Muslim juga meriwayatkan dari Jabir, bahwa Rasulullah saw berkata kepada seorang laki-laki:

    ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا [رواه مسلم]

    Artinya: “Berikanlah terlebih dahulu untuk kepentingan dirimu; bila lebih, maka untuk istrimu; bila masih lebih, maka untuk keluarga terdekatmu; bila masih lebih lagi, berikanlah untuk lain-lain.” [HR. Muslim].

    B. MASALAH ZAKAT FITRAH

    • Prioritas porsi zakat fitrah paling banyak—bahkan jika terdapat tuntutan kondisi diberikan seluruhnya—kepada fakir miskin.

    Hal ini karena ada hadis sahih yang men-takhshis QS. At-Taubah ayat 60.  Hadits yang dimaksud adalah,

    فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.

    “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.” (HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827)

    Juga hadis:

    وعن ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال رسول الله – صلى الله عليه وسلم-: “أغنوهم في هذا اليوم”

    Dari Ibn Umar Ra, Rasulullah SAW bersabda: “Cukupkan makanan mereka (fakir miskin) di hari ini (hari raya)” (Hr. ad-Daruquthni, Kitab Zakah 2/152 no. 67 dan al-Baihaqy dalam Sunan al-Kubra no. 7528)

    Hal ini juga sejalan dengan hikmah disyari’atkannya zakat fithri adalah: (1) untuk berkasih sayang dengan orang miskin, yaitu mencukupi mereka agar jangan sampai meminta-minta di hari ‘ied, (2) memberikan rasa suka cita kepada orang miskin supaya mereka pun dapat merasakan gembira di hari ‘ied, dan (3) membersihkan kesalahan orang yang menjalankan puasa akibat kata yang sia-sia dan kata-kata yang kotor yang dilakukan selama berpuasa sebulan. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8278 dan Minhajul Muslim, 230).

    • Diusahakan semaksimal mungkin pembagian zakat fitrah dilakukan sebelum sholat ‘Idul Fitri.

    Pemberian zakat yang diwakilkan kepada amil adalah tergolong akad wakalah. Yakni orang yang membayar zakat mewakilkan pembagian zakat kepada pihak panitia zakat atau takmir masjid agar diberikan pada orang yang berhak menerima zakat.

    لأنكم وُكَلاء عنه في توزيعها، وتَصَرُّفُ الوكيل مَنُوطٌ بإذن الوكيل؛ صراحةً أو ضمنًا.

    Sehingga dalam konteks ini, perlu diperhatikan pendapat para ulama mazhab Syafi’i, diantaranya Al-Khatib bahwa hukumnya makruh jika zakat fitrah disalurkan setelah shalat Id dan haram jika itu terjadi tanpa ada uzur. [al-Khatib, Mughni al-Muhtaj]. Dan dalam kitab al-Majmu’, Imam Nawawi menjelaskan; ‘Menurut Mazhab kami (Ulama Syafi’iyah), andaikan seseorang terlambat menunaikan zakat fitrah hingga melewati shalat id, tetapi ia menunaikannya di hari Id tersebut, maka ia tetap dikategorikan sah menunaikan zakat fitrah dan tidak berdosa. Tetapi jika ia menunaikannya melalui hari Id tanpa uzur, maka ia berdosa dan harus meng-qadhanya.’

    Dan al-Buhuty menulis zakat fitrah itu hanya boleh disalurkan maksimum pada hari Id saat terbenam matahari. [al-Iqna’ / al-Buhuty, 2/252 Cet. Darul Kutub al-ilmiyah). Al-Abdary merilis pendapat ini juga dari Imam Malik, Imam Abu Hanifah, al-Laits, dan Imam Ahmad.

    Dalam kitab Hasyiyah I’anah ath-Thalibin:

     (قوله: وحرم تأخيرها) أي الفطرة، أي إخراجها. وذلك لان القصد إغناء المستحقين في يوم العيد، لكونه يوم سرور

    ”Haram mengakhirkan zakat fitrah. Hal tersebut dikarenakan tujuan adanya zakat fitrah adalah mencukupi orang-orang yang berhak menerima zakat pada hari raya Id, sebab hari tersebut adalah hari kebahagiaan” (Syekh Abu Bakar bin Sayyid Muhammad Syatha, Hasyiyah I’anah ath-Thalibin, juz 2, hal. 197)

    Sebagaimana pula disebut dalam fatwa MUI terkait : “Waktu wajib membayar zakat fitrah adalah sebelum dilaksanakannya shalat Idul Fitri. Menyalurkan zakat fitrah yang diwakilkan oleh muzakki kepada badan/lembaga amil zakat atau panitia zakat fitrah melewati tanggal 1 Syawal hukumnya tidak sah kecuali ada uzur syar’i.” (Fatwa MUI No.65 Tahun 2022 tentang Hukum Masalah-masalah Terkait Zakat Fitrah).

    Sebagaimana juga peraturan menteri agama (PMA) terkait : “Zakat fitrah disalurkan paling lambat sebelum pelaksanaan shalat Idul Fitri.” (PMA No. 52 tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah).

    Demikian pula merujuk Keputusan Ketua BAZNAS No. 064 Tahun 2019 tentang Pedoman Pelaksanaan Pendistribusian dan Pendayagunaan Zakat di lingkungan BAZNAS di Bab X Akutansi dan Keuangan di butir ke-13: Penyaluran dana Zakat Fitrah hanya dapat dilakukan selama Bulan Ramadhan hingga sebelum pelaksanaan shalat idul fitri.

    DR. Oni Sahroni, anggota DSN MUI Pusat menjelaskan, ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian setiap individu wajib zakat dan lembaga zakat, yaitu ;

    [1] Setiap individu wajib zakat harus menyalurkan maksimal sebelum shalat Id karena tidak ada uzur [alasan] bagi individu untuk menunda penyaluran hingga setelah shalat Id dan karena ia memiliki waktu yang sangat cukup sejak awal Ramadhan.

    [2] Setiap lembaga amil zakat melakukan mitigasi risiko agar bisa menyalurkan dan menuntaskan penyalurannya sebelum shalat id, misalnya dengan memberikan pengumuman kepada masyarakat ; Batas akhir penerimaan donasi zakat fitrah. Transfer jumat 21 April jam 19.30 dan tunai Jumat 21 April jam 21.30

    [3] Jika lembaga amil zakat sudah berikhtiar tetapi banyak keterbatasan, maka boleh menyalurkannya bada shalat id hingga terbenam matahari di hari id dan bernilai zakat fitrah

    Solusi yang kami usulkan adalah melakukan pembagian zakat fitrah secara bertahap dengan langsung menyalurkan ketika kadar tertentu terkumpul di Petugas Amil Zakat di masjid dan musholla di kelurahan yang disebut unit pengumpul Zakat (UPZ) tanpa harus menunggu terkumpul semua dari para muzakki. Tentu saja disertai dengan pencatatan yang teliti jumlah zakat fitrah yang terkumpul agar dapat dilaporkan sesuai dengan SOP pengumpulan Zakat dari BAZNAS Kota Bima.

    • Prioritas mustahiq zakat fitrah adalah fakir-miskin di wilayah terdekat masing-masing dari lokasi pengumpulan zakat.

    Hal ini berdasarkan hadits dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ketika ia diutus ke Yaman.

    أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ زَكَاةً فِى أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ غَنِيِّهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فَقِيرِهِمْ

    “..Bahwa Allah juga telah mewajibkan bagi mereka zakat dari harta mereka, yaitu diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan disalurkan untuk orang-orang fakir di tengah-tengah mereka..” (HR. Bukhari, no. 7372; Muslim, no. 19).

    Menurut jumhur (mayoritas ulama) berpendapat harus diberikan di tempat kita domisili atau tempat mencari nafkah. Dalam kitab Asnal Matholib Syarh Rowdahuth Tholibin disebutkan mengenai masalah zakat harta (zakat maal). Zakat tersebut ditunaikan di negeri di mana harta tersebut berada, sedangkan untuk zakat fitrah ditunaikan pada tempat di mana seseorang bertemu Idul fitri karena itulah sebab wajibnya zakat fitrah.

    C. MASALAH PENYALURAN ZAKAT KEPADA MUSTAHIK.

    Sebagaimana diketahui bahwa penyaluran zakat meliputi pendistribusian dan pendayagunaan zakat. Sebagaimana diatur dalam  keputusan ketua BAZNAS No. 064 Tahun 2019 tentang Pedoman Pelaksanaan Pendistribusian dan Pendayagunaan Zakat di lingkungan BAZNAS di Bab III tentang Penyaluran Zakat bahwa pendistribusian dan pendayagunaan meliputi bidang pendidikan, kesehatan, kemanusiaan, dakwah dan advokasi.

    Dalam konteks ini, usulan yang kami ajukan sebagai berikut:

    1. Penyaluran zakat kepada 8 Asnaf berbasis kajian objektif di lapangan dan menggunakan prinsip prioritas.

    Menurut jumhur ulama mazhab (Hanafy, maliki dan hanbaly), bahwa tidak harus kepada 8 Asnaf. Sementara Mazhab Syafi’I harus merata kepada 8 Asnaf. Kami usulkan agar penyaluran tidak menggunakan prinsip pemerataan tapi berdasar prinsip prioritas sesuai situasi dan kondisi keadaan umat (fiqh al-waqi’). Demikian pula pendayagunaan dana zakat untuk pembangunan dan kepentingan kemaslahatan umum (maslahah aammah) dan kebajikan (al-birr) adalah boleh dengan ketentuan tidak ada kebutuhan mendesak bagi para mustahiq yang bersifat langsung, sebagaimana disebutkan dalam Fatwa MUI No 1 Munas 2015 Tentang Pendayagunaan Harta Zakat, Infaq, Sedekah Dan Wakaf.

    2. BAZNAS Kota/Kabupaten diharap berkenan untuk melakukan musyawarah, sharing pendapat dan koordinasi lintas sektoral dengan stakeholder terkait dalam penetapan mustahiq, porsi asnaf, pendistribusian dan pendayagunaan melalui rapat koordinasi.  

    3. Asnaf Zakat untuk Amil Zakat.

    Dalam FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 8 Tahun 2011 Tentang AMIL ZAKAT disebutkan bahwa Amil zakat yang telah memperoleh gaji dari negara (pemerintah-pen) atau lembaga swasta dalam tugasnya sebagai Amil tidak berhak menerima bagian dari dana zakat yang menjadi bagian Amil. Sementara amil zakat yang tidak memperoleh gaji dari negara atau lembaga swasta berhak menerima bagian dari dana zakat yang menjadi bagian Amil sebagai imbalan atas dasar prinsip kewajaran.

    Sesuai Perbaznas No 2 Tahun 2016, UPZ mendapatkan bagian hak amil paling banyak 12,5% (dua belas koma lima persen) dari realisasi tugas pembantuan pendistribusian dan pendayagunaan zakat.

    UPZ yang hanya melakukan tugas pengumpulan zakat dapat menggunakan dana pengumpulan zakat paling banyak sebesar 5% (lima persen) dari hasil pengumpulan untuk operasional UPZ.

    4. Pendistribusian zakat bidang dakwah dan advokasi diharapkan dapat dilakukan untuk pembiayaan program pengiriman dan penugasan da’I/penceramah ke wilayah terluar Kota Bima “dan masih rendah tingkat syi’ar dakwah Islamnya.

    Hal ini selaras dengan program pendayagunaan zakat bidang dakwah dan advokasi dalam bentuk kegiatan pembinaan masyarakat muslim berbasis skala prioritas. Untuk kegiatan semacam ini, Baznas Kota/Kab dapat dilakukan bekerjasama dengan MUI Kecamatan se-Kota/Kab Bima.

    5. Penguatan kerjasama Baznas dengan organisasi dan lembaga atau ormas keislaman.

    Di antara bentuk kerjasama tersebut misalnya pengembangan kapasitas individual mustahiq dalam hal pendidikan pemahaman Islam, nilai dan sikap Islami (sebagaimana Keputusan Ketua BAZNAS No. 064 Tahun 2019 tentang Pedoman Pelaksanaan Pendistribusian dan Pendayagunaan Zakat di lingkungan BAZNAS pada Sub bagian keempat jenis bantuan dalam pendayagunaan) dapat melibatkan penyuluh agama kemenag dan da’I Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan se Kota Bima. Dalam hal pendidikan dan pelatihan kewirausahaan dan pelatihan kepemimpinan dapat mengandeng kalangan dunia kampus, dll.

    Kerjasama dengan pihak jaringan masjid (DMI dan Takmir Masjid) untuk kemakmuran masyarakat yang menjadi jama’ah masjid yang faqir dan miskin. Jika harus memilih, maka jama’ah masjid yang fakir lebih prioritas daripada yang fakir non jama’ah masjid. (walayah atas dasar kesholehan)

    Terkait dengan bidang pendidikan adalah alokasi pendistibusian zakat untuk biaya pelatihan calon-calon da’i/mubaligh/’ulama Kota Bima dan peningkatan kapasitas kompetensi para da’i/mubaligh/’ulama Kota Bima serta bimbingan intensif untuk pendampingan pembinaan bagi para santri-santriwati  yang berminat untuk melanjutkan studi Islam di Timur Tengah atau pembinaan putra-putri Kota Bima untuk mampu tembus di sekolah favorit MAN IC/MANPK Kemenag RI. Untuk kegiatan semacam ini, Baznas Kota Bima dapat dilakukan bekerjasama dengan komisi pendidikan dan dakwah MUI Kota Bima.

    6. Tentang penyaluran Zakat kepada Asnaf Zakat fi sabilillah.

    Dalam rangka penguatan dakwah Islamiyah di Kota Bima, diharapkan kerjasama dan dukungan pendanaan melalui asnaf fii sabilillah dari Baznas Kota Bima untuk organisasi dan lembaga-lembaga dakwah Islam yang ada di Kota Bima.

    Sesuai rujukan oleh fatwa MUI yang dijadikan acuan oleh Baznas, Fatwa MUI tahun 1982 tentang mentasharrufkan dana zakat untuk kegiatan produktif dan kemaslahatan umum. Dana zakat atas nama Sabilillah boleh ditasarufkan guna keperluan maslahah ’ammah (kepentingan umum).

    Dana zakat atas nama Sabilillah guna keperluan maslahah ’ammah (kepentingan umum) yang diprioritaskan kepada maslahah ‘ammah diiniyah  Dukungan dana zakat dari asnaf “Fi Sabilillah” untuk penguatan dakwah Islam di lembaga-lembaga dakwah Islam mewujudkan Kota Bima yang religius.

    Dalam PERBAZNAS No. 003 Tahun 2018 pasal 3 disebutkan bahwa Sabilillah merupakan salah satu dari golongan dibawah ini, yaitu:

    1. orang atau kelompok/lembaga yang sedang berjuang menegakan kalimat Allah;
    2. orang yang secara ikhlas melaksanakan tuntunan agama baik tuntunan wajib, sunah, dan berbagai kebajikan lainnya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT; atau
    3. orang yang secara ikhlas dan sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu yang bermanfaat bagi umat.

    Demikian pula, penyediaan beasiswa tersebut dapat menggunakan Asnaf fi sabilillah dan asnaf Ibnu Sabil sesuai fatwa MUI Tentang Pemberian Zakat Untuk Beasiswa Nomor Kep.-120/MU/II/1996.

    Penyediaan beasiswa pendidikan untuk menyiapkan calon da’i dan ulama dalam rangka menjalankan perintah Allah dalam QS. At Taubah (9) ayat 122

    وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ۝

    Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.

    Kitab Fiqih as-Sunnah, Jilid 1 hal. 407:

    “Imam Nawawi berpendapat, jika seseorang dapat bekerja yang sesuai dengan keadaanya. Tetapi ia sedang sibuk memperoleh ilmu Syara’ dan sekiranya ia bekerja, terputuslah usaha menghasilkan ilmu itu, maka halallah baginya zakat, karena menghasilkan ilmu itu hukumnya fardu kifayah (keperluan orang banyak dan harus ada orang yang menangganinya) sebagaimana disebut dalam Fatwa MUI tahun 1982 tentang intensifikasi pelaksanaan zakat.

    MUI memiliki program I’dad wa tadribut du’at (pembibitan dan pelatihan da’i). ini perlu mendapat prioritas merujuk penjelasan Sayyid Sabiq dalam Fiqh as-Sunnah yang dijadikan dasar fatwa MUI tahun 1982 di atas.

    7. Zakat produktif melalui Koperasi Syari’ah.

    Zakat produktif adalah salah satu bentuk skema penyaluran dan pendayagunaan dana zakat. Pendistribusiannya dengan menambah atau sebagai modal usaha mustahik. Penyaluran dana zakat dalam bentuk Al-Qardh Al-Hasan disalurkan kepada mustahik dengan ketentuan para mustahik harus mengembalikan dana tersebut. Penyaluran dengan bentuk ini untuk mengedukasi mustahik agar bekerja keras sehingga usahanya berhasil. Dana yang dikembalikan tersebut kemudian digulirkan lagi kepada mustahik lain. Dengan demikian, pemetik manfaat zakat itu semakin bertambah.

    Penguatan koperasi syari’ah berbasis masjid untuk melawan jeratan praktek riba dari koperasi liar, pinjaman online (pinjol) maupun koperasi/bank konvesional yang riba dengan berbunga tinggi.

    Hal ini dapat dilakukan dengan menjadikan koperasi syari’ah yang ada di masjid binaan mengelola dana zakat sebagai mitra (lihat Bab 3 tentang penyaluran zakat bagian kesatu umum butir ke-6 Keputusan Ketua BAZNAS No. 064 Tahun 2019 tentang Pedoman Pelaksanaan Pendistribusian dan Pendayagunaan Zakat di lingkungan BAZNAS) dan disalurkan kepada jama’ah masjid yang menjadi anggota kopsyah dalam bentuk al-qord al-hasan. Dengan merujuk Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia Ke-7 Tahun 2021 Tentang Zakat Dalam Bentuk Al-Qardh Al-Hasan.

    Hal ini juga selaras dengan pendayagunaan zakat pada bidang ekonomi melalui pendayagunaan zakat dalam bentuk pemberdayaan komunitas mustahiq berbasis kewilayahan dan potensi ekonomi lokal.

    D. MASALAH DAKWAH ZAKAT

    • Perlu peningkatan kerjasama dengan MUI dan berbagai lembaga dakwah Islam untuk sosialisasi kewajiban dan fiqih terkait hukum zakat.
    • Upaya dakwah kepada masyarakat petani untuk zakat ziro’ah (zakat pertanian) terutama petani jagung, kepada pegawai untuk zakat profesi (lisan dan tulisan terutama untuk menjelaskan syubhat (kesamaran, keraguan dan kesalahpahaman) tentang zakat profesi. Demikian pula untuk kalangan pengusaha
    • Perlu sosialisasi dan penanaman pemahaman tentang Zakat sejak dini di kalangan pelajar (di sekolah) dan mahasiswa (di kampus-kampus).
    • Umat perlu dipahamkan tentang masalah Utang Zakat yaitu zakat dimasa lalu yang belum terbayarkan karena ketidaktahuan atau kelalaian.

    Zakat yang belum ditunaikan di masa lampau, dianggap sebagai hutang dan wajib dizakati sebagai qadha. Hal itu disamakan pada kewajiban sholat dan puasa. Sebagaiamana sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas

    فدَينُ اللَّهِ أحقُّ أن يُقضَى

    Utang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan.”(HR. Bukhari, no. 1953 dan Muslim, no. 1148

    Dalam madzhab syafi’i sebuah redaksi terkait hukum keterlambatan mengeluarkan zakat fitrah :

    وَلَا يَجُوزُ تَأْخِيرُهَا عَنْ يَوْمِ الْفِطْرِ فَاِنْ أَخَّرَهَا أَثِمَ وَلَزِمَهُ الْقَضَاءُ

    “Dan tidak boleh mengakhirkan zakat fitrah sampai melewati hari raya Idul Fitri, karenanya jika seseorang mengakhirkannya maka ia berdosa dan wajib mengqadlanya” (Abu Ishaq as-Syirazi, at-Tanbih fi Fiqh asy-Syafi’i, Bairut-Alam al-Kutub, 1403 H, h. 61)

    وَيَجِبُ الْقَضَاءُ فَوْرًا لِعِصْيَانِهِ بِالتَّأْخِيرِ وَمِنْهُ يُؤْخَذُ أَنَّهُ لَوْ لَمْ يَعْصِ بِهِ لِنَحْوِ نِسْيَانٍ لَا يَلْزَمُهُ الْفَوْرُ

    “Dan wajib mengqadla (bagi orang yang mengakhirkan pembayaran zakat fitrah sampai melebihi hari raya Idul Fitri, pent) dengan segera karena kesalahannya (maksiat) dengan melakukan pengakhiran tersebut. Dan dari sini juga dapat dipahami bahwa seandainya pengakhiran tersebut bukan karena kesalahan yang sengaja dibuat seperti karena lupa maka tidak harus segera mengqadlanya” (Ibnu Hajar al-Haitsami, Tuhfah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, Mesir al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, 1357 H/1983 M, juz, 4, h. 381)

    Dengan demikian penghasilan yang dimiliki pada tahun-tahun yang lalu yang belum dizakati akibat ketidaktahuan (jahl) atau kelalaian adalah wajib dizakati, dengan catatan mengetahui secara pasti atau mencatat seluruh penghasilan harta benda yang wajib di zakati di masa lalu. Dalam keadaan demikian hal yang wajib dizakatinya adalah persentase yang wajib dikeluarkan atas nama zakat dibandingkan dengan jumlah penghasilan harta benda yang dimiliki. Sedangkan apabila tidak mengetahui secara pasti harta benda yang telah dimilikinya di masa lalu yang wajib untuk dizakati, maka yang wajib dibayar adalah hitungan yang diyakini, sesuai dengan kaedah al-akhdzu bil mutayaqqan (berpijak pada sesuatu yang diyakininya). Sebagaimana disebutkan oleh Syekh Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitab Al-Asybah wan Nazha’ir, halaman 55.


    [1] Info harga emas di finance detik.com pada 1 Maret 2024 dan kami akses pada 4 Maret 2024 disebutkan: “Jika ditarik dalam sepekan terakhir, pergerakan harga emas hari ini dari Antam terpantau bergerak di rentang Rp 1.118.000/gram – Rp 1.133.000/gram. Sementara dalam sebulan terakhir pergerakannya ada di rentang Rp 1.115.000/gram – Rp 1.151.000/gram. Alamat link:

    https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-7219440/harga-emas-hari-ini-lagi-tinggi-punya-1-gram-dijual-laku-segini

    [2] Dalam kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawi menyebutkan bahwa untuk mereka yang berpenghasilan tinggi dan terpenuhi kebutuhannya serta memang memiliki uang berlebih, lebih bijaksana bila membayar zakat dari penghasilan kotor sebelum dikurangi dengan kebutuhan pokok. Namun masih menurut Al-Qaradhawi, bila termasuk orang yang bergaji pas-pasan bahkan kurang memenuhi standar kehidupan, kalaupun diwajibkan zakat, maka penghitungannya diambil dari penghasilan bersih setelah dikurangi hutang dan kebutuhan pokok lainnya. Bila sisa penghasilan itu jumlahnya mencapai nisab dalam setahun wajib mengeluarkan zakat sebesr 2,5% dari penghasilan bersih itu. (https://rumahzis.ugm.ac.id/blog/tanya-jawab-masalah-zakat/163/ ).



    Tinggalkan komentar

    About Me

    M. Syukrillah, S.Th.I, M.Ag. Alumni Ma’had Umar bin al-Khattab Surabaya UMSIDA, IAIN Sunan Ampel Surabaya dan UIN Sunan Ampel Surabaya

    Newsletter