AGAR RAMADHAN KITA SEMAKIN BERKUALITAS


(Panduan Pelaksanaan Ibadah Ramadhan)

Oleh M. Syukrillah, M.Ag (Ketua Komisi Fatwa dan Hukum MUI Kota Bima)

  1. Seorang muslim yang benar imannya mencintai dan mengagungkan syi’ar ibadah Ramadhan. Allah Azza wa Jalla berfirman:

ذَلِكَ وَمَنْ یُعَظِّمْ شَعَائِرَ الله َ فَإِنَّھَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

“Demikianlah (perintah Allah). Dan siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32).

ذٰلِكَ وَمَنۡ يُّعَظِّمۡ حُرُمٰتِ اللّٰهِ فَهُوَ خَيۡرٌ لَّهٗ عِنۡدَ رَبِّهٖ‌ؕ وَاُحِلَّتۡ لَـكُمُ الۡاَنۡعَامُ اِلَّا مَا يُتۡلٰى عَلَيۡكُمۡ‌ فَاجۡتَنِبُوا الرِّجۡسَ مِنَ الۡاَوۡثَانِ وَاجۡتَنِبُوۡا قَوۡلَ الزُّوۡرِۙ

“Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan apa yang terhormat di sisi Allah (hurumat) maka itu lebih baik baginya di sisi Tuhannya.” (QS. Al-Hajj: 30)

  • Laksanakan kewajiban puasa yang menjadi salah satu rukun Islam dengan penuh kesadaran iman.

Tidak boleh meremehkan, menyepelekan kewajiban melaksanakan puasa Ramadhan. HARAM hukumnya tidak berpuasa Ramadhan tanpa udzur syar’I (alasan yang dibenarkan syari’at) walaupun sehari, apalagi berhari-hari. Hukumnya DOSA BESAR. Jika seseorang mengingkari kewajiban puasa dan menolaknya, maka ulama sepakat tentang kekafirannya.

وَمَنۡ يَّعۡصِ اللّٰهَ وَرَسُوۡلَهٗ وَيَتَعَدَّ حُدُوۡدَهٗ يُدۡخِلۡهُ نَارًا خَالِدًا فِيۡهَا ۖ وَلَهٗ عَذَابٌ مُّهِيۡنٌ

“Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar batas-batas hukum-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka, dia kekal di dalamnya dan dia akan mendapat azab yang menghinakan. (QS. An-Nisa: 14)

Imam Adz Dzahabi Rahimahullah berkata:

وعند المؤمنين مقرر أن من ترك صوم رمضان بلا مرض ولا عرض أنه شر المكاس والزاني ومدمن الخمر بل يشكون في إسلامه ويظنون به الزندقة والانحلال

Orang-orang beriman telah menetapkan bahwa orang yang meninggalkan puasa Ramadhan padahal tidak sakit dan tidak ada alasan, maka dia lebih buruk dari perampok, pezina, peminum khamr, bahkan diragukan keislamannya, dan mereka menyangka orang tersebut adalah zindik dan telah copot keislamannya. (Dikutip oleh Imam Al Munawiy, Faidhul Qadir, 4/211)

Ancaman bagi orang yang tidak berpuasa disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa sallam:

بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ إِذْ أَتَانِى رَجُلاَنِ فَأَخَذَا بِضَبْعَىَّ فَأَتَيَا بِى جَبَلاً وَعْرًا فَقَالاَ لِىَ : اصْعَدْ فَقُلْتُ : إِنِّى لاَ أُطِيقُهُ فَقَالاَ : إِنَّا سَنُسَهِّلُهُ لَكَ فَصَعِدْتُ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِى سَوَاءِ الْجَبَلِ إِذَا أَنَا بَأَصْوَاتٍ شَدِيدَةٍ فَقُلْتُ : مَا هَذِهِ الأَصْوَاتُ قَالُوا : هَذَا عُوَاءُ أَهْلِ النَّارِ ، ثُمَّ انْطُلِقَ بِى فَإِذَا أَنَا بِقَوْمٍ مُعَلَّقِينَ بِعَرَاقِيبِهِمْ مُشَقَّقَةٌ أَشْدَاقُهُمْ تَسِيلُ أَشْدَاقُهُمْ دَمًا قَالَ قُلْتُ : مَنْ هَؤُلاَءِ قَالَ : هَؤُلاَءِ الَّذِينَ يُفْطِرُونَ قَبْلَ تَحِلَّةِ صَوْمِهِمْ

Ketika aku sedang tidur, tiba-tiba ada dua laki-laki yang mendatangiku. Keduanya memegangi kedua lenganku, kemudian membawaku ke sebuah gunung terjal. Keduanya berkata kepadaku: “naiklah!”. Aku menjawab: “Aku tidak mampu”. Keduanya berkata, “Kami akan memudahkannya untukmu”. Maka aku naik. Ketika aku berada di tengah gunung itu, tiba-tiba aku mendengar suara-suara yang keras, sehingga aku bertanya: “suara apa itu?”. Mereka menjawab, “Itu teriakan penduduk neraka”. Kemudian aku dibawa ke tempat lain, tiba-tiba aku melihat sekelompok orang digantung terbalik dengan urat-urat kaki mereka sebagai ikatan. Ujung-ujung mulut mereka sobek dan mengalirkan darah. Aku bertanya, “Mereka itu siapa?” Keduanya menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang berbuka puasa sebelum waktunya” (HR. Ibnu Hibban no.7491, dishahihkan Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Shahih Ibnu Hibban).

Puasa Ramadhan sehari yang ditinggalkan tanpa udzur syar’I, tidak bisa tergantikan walaupun berpuasa setahun.

من أفطر يوما من رمضان من غير رخصة لم يقضه وإن صام الدهر كله

“Orang yang sengaja tidak berpuasa pada suatu hari  di bulan Ramadhan, padahal ia bukan orang yang diberi keringanan, ia tidak akan dapat mengganti puasanya meski berpuasa terus menerus”. (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di Al’Ilal Al Kabir (116), oleh Abu Daud di Sunan-nya (2396), oleh Tirmidzi di Sunan-nya (723), Imam Ahmad di Al Mughni (4/367), Ad Daruquthni di Sunan-nya (2/441, 2/413), dan Al Baihaqi di Sunan-nya (4/228). Dinilai hasan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah (2/329) dan Al Haitsami di Majma’ Az Zawaid (3/171).

Udzur syar’I untuk boleh meninggalkan puasa adalah sakit yang berat untuk berpuasa, perjalanan jauh (safar) yaitu sejarak minimal 81 Km, Ibu hamil dan menyusui, orang yang sudah pikun atau sudah tua renta dan tidak mampu lagi berpuasa, wanita yang haid dan nifas.

2. Ajarkan dan latih anak-anak walaupun belum baligh untuk menjalankan puasa, sebagian hari atau beberapa hari sesuai kemampuan anak.

Ar Rubayyi’ berkata, “Dan kami mengajak anak-anak kami untuk berpuasa. Kami membuatkan pada mereka mainan dari bulu. Jika saat puasa mereka ingin makan, maka kami berikan pada mereka mainan tersebut. Akhirnya mereka terus terhibur sehingga mereka menjalankan puasa hingga waktu berbuka.” (HR. Bukhari no. 1960). Hadits ini menunjukkan bahwa hendaklah anak-anak dididik puasa sejak mereka kuat. Jika mereka ‘merengek’ ingin berbuka padahal belum waktunya, maka hiburlah mereka dengan mainan sehingga mereka terbuai. Akhirnya mereka nantinya bisa menjalankan puasa hingga waktu Maghrib.

Ibnu Battol rahimahullah berkata,“Para ulama sepakat bahwa ibadah dan berbagai kewajiban tidaklah wajib kecuali jika seseorang sudah baligh. Namun mayoritas ulama menganjurkan agar anak dilatih berpuasa dan melakukan ibadah supaya nantinya mereka tidak meninggalkannya, dan terbiasa serta mudah melakukannya ketika sudah wajib nantinya.” (Syarh Al Bukhari, 7/125, Asy Syamilah)

Walaupun belum baligh, pahala akan didapat oleh anak yang melakukannya dan orang tua yang mengajarkan dan mendidiknya. Al ‘Allamah Muhamnad Al Hathab Rahimahullah berkata, sebagaimana dikutip Imam An Nafrawiy Rahimahullah:

الصحيح أن أجر أعمال الصبي له ولا تكتب عليه السيئات

Yang benar, amal-amal baik anak-anak diberikan pahala, ada pun kejelekannya tidaklah dicatat sebagai dosa. (Al Fawakih Ad Dawaniy, 1/180)

Syaikh Muhammad ‘Ulaisy Al Malikiy Rahimahullah berkata:

المعتمد أن ثواب عمل الصبي له خاصة، ولوالديه ثواب التسبب فيه

Pendapat yang diakui bahwa pahala amal anak-anak adalah untuknya scr khusus, ada pun kedua org tuanya dapat pahala karena sebagai sebabnya. (Fathul ‘Aliy, 1/213)

3. Ingatkan dan nasehatkan keluarga, sahabat dan saudara yang tidak berpuasa tanpa udzur syar’i.

وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ

“Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman: 17)

4. Semangat melaksanakan sholat tarawih. Dalam hal pelaksanaan sholat tarawih ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

a. Tidak memperselisihkan jumlah rakaat sholat tarawih karena perbedaan pendapat tentang itu adalah khilaf mu’tabar (perbedaan pendapat yang diakui oleh para ulama karena masing-masing memiliki dali yang kuat). Tidak ada dalil yang shorih (tegas dan jelas) yang menetapkan batasan sholat tarawih dengan jumlah (rakaat) tertentu sebagaimana disebutkan oleh Imam As-Suyuthi, Ibn Daqiqil ‘Ied, Ibnu Taimiyah, dll.

Jika terjadi perbedaan pendapat, maka dimusyawarahkan dengan jama’ah masjid/musholla. Pilihlah pendapat yang disetujui oleh mayoritas jama’ah atau ikuti kebiasaan (‘urf) yang sudah ada sebelumnya dan tidak memaksakan kehendak untuk mengubah walaupun dinilai khilaful aula (berbeda dengan pendapat yang dinilai paling benar) karena al-khilafu syarrun (berselisih pendapat adalah kejelekan) dan persatuan adalah kewajiban.

b. Walaupun boleh dilaksanakan sendiri atau berjama’ah di rumah, namun jauh lebih baik dan utama sholat tarawih berjama’ah di masjid. Sebagaimana An Nawawi berkata di dalam Al Majmu’ (3/526). Bahkan menjadi ijma’ sahabat dan penduduk Madinah di kalangan salaf. Hal ini juga dalam rangka meninggikan syi’ar agama Allah, ihya’ as-sunnah (menghidupkan sunnah) dan meneladani sunnah sahabat khususnya khulafa’ ar-rosyidin.

c. Laksanakan sholat tarawih bersama imam sampai selesai dan tidak keluar dan pulang sebelum selesai.

Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengumpulkan keluarga dan para sahabatnya. Lalu beliau bersabda,

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً

“Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (HR. An Nasai no. 1605, Tirmidzi no. 806, Ibnu Majah no. 1327, Ahmad dan Tirmidzi. Tirmidzi menshahihkan hadits ini. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ no. 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih).

d. Boleh laksanakan sholat tahajud setelah sholat witir bersama imam saat sholat tarawih. Tetapi tidak perlu mengulangi sholat witir karena tidak boleh ada dua kali witir dalam satu malam. Aisyah menceritakan mengenai shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كَانَ يُصَلِّى ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى ثَمَانَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ يُوتِرُ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ قَامَ فَرَكَعَ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَالإِقَامَةِ مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat 13 raka’at (dalam semalam). Beliau melaksanakan shalat 8 raka’at kemudian beliau berwitir (dengan 1 raka’at). Kemudian setelah berwitir, beliau melaksanakan shalat dua raka’at sambil duduk. Jika ingin melakukan ruku’, beliau berdiri dari ruku’nya dan beliau membungkukkan badan untuk ruku’. Setelah itu di antara waktu adzan shubuh dan iqomahnya, beliau melakukan shalat dua raka’at.” (HR. Muslim no. 738)

e. Takmir masjid berkewajiban untuk memilih imam yang terbaik untuk memimpin sholat sesuai kriteria yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW:

عَنْ أبِي مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم: «يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ، فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ، فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً، فَإِنْ كَانُوا فِي الهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْماً ـ وَفِي رِوَايَةٍ: سِنّاًـ وَلاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ، وَلاَ يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ».رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yang mengimami kaum adalah orang yang paling pandai membaca Al-Qur’an di antara mereka. Jika dalam bacaan mereka sama, maka yang paling banyak mengetahui tentang sunnah di antara mereka. Jika dalam sunnah mereka sama, maka yang paling dahulu berhijrah di antara mereka. Jika dalam hijrah mereka sama, maka yang paling dahulu masuk Islam di antara mereka.” Dalam suatu riwayat disebutkan, “Yang paling tua.”—“Dan janganlah seseorang mengimami orang lain di tempat kekuasaannya dan janganlah ia duduk di rumahnya di tempat kehormatannya kecuali dengan seizinnya.” (Diriwayatkan oleh Muslim) [HR. Muslim, no. 673]

f. Tidak bershalawat dengan cara berteriak-teriak Sebagaimana kebiasaan shalawat saat duduk di antara dua rakaat sholat tarawih di beberapa masjid. Hal ini sebagai adab kepada Rasulullah SAW dan etika dalam berdoa yang seyogyanya dilakukan dengan khusyu’ dan tawadhu’.

Firman Allah Ta’ala:

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ

“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. Al A’raf: 205).  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ أَرْبِعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ ؛ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا وَإِنَّمَا تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا إنَّ الَّذِي تَدْعُونَهُ أَقْرَبُ إلَى أَحَدِكُمْ مِنْ عُنُقِ رَاحِلَتِهِ

“Wahai sekalian manusia, lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah berdo’a pada sesuatu yang tuli lagi ghoib (tidak ada). Yang kalian seru (yaitu Allah), Maha Mendengar lagi Maha Dekat. Sungguh yang kalian seru itu lebih dekat pada salah seorang di antara kalian lebih dari leher tunggangannya.” (HR. Ahmad 4: 402. Sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth).

Kita lihat nasehat Luqman Al Hakim kepada anaknya yang diabadikan dalam Al Qur’an:

وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

“dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (Luqman: 19).

Al Musawwir bin Makhramah radhiallahu’anhu mengatakan:

وإذا تكَلَّمَ خَفَضُوا أصواتَهم عندَه ، وما يُحِدُّون إليه النظرَ؛ تعظيمًا له

“jika para sahabat berbicara dengan Rasulullah, mereka merendahkan suara mereka dan mereka tidak memandang tajam sebagai bentuk pengagungan terhadap Rasulullah” (HR. Al Bukhari 2731).

5. Hidupkan siang dan malam Ramadhan dengan tilawah atau tadarus al-Quran. Karena Ramadhan adalah syahrul Quran (bulan al-Quran). Bacalah Al-Quran dengan hukum tajwidnya dan tartil.

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

ﺍﻟﺼِّﻴَﺎﻡُ ﻭَﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥُ ﻳَﺸْﻔَﻌَﺎﻥِ ﻟِﻠْﻌَﺒْﺪِ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ، ﻳَﻘُﻮﻝُ ﺍﻟﺼِّﻴَﺎﻡُ : ﺃَﻱْ ﺭَﺏِّ، ﻣَﻨَﻌْﺘُﻪُ ﺍﻟﻄَّﻌَﺎﻡَ ﻭَﺍﻟﺸَّﻬَﻮَﺍﺕِ ﺑِﺎﻟﻨَّﻬَﺎﺭِ، ﻓَﺸَﻔِّﻌْﻨِﻲ ﻓِﻴﻪِ، ﻭَﻳَﻘُﻮﻝُ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥُ : ﻣَﻨَﻌْﺘُﻪُ ﺍﻟﻨَّﻮْﻡَ ﺑِﺎﻟﻠَّﻴْﻞِ، ﻓَﺸَﻔِّﻌْﻨِﻲ ﻓِﻴﻪِ، ﻗَﺎﻝَ : ﻓَﻴُﺸَﻔَّﻌَﺎﻥِ

“Amalan puasa dan membaca Al-Qur’an akan memberi syafa’at bagi seorang hamba di hari kiamat. Puasa berkata: Wahai Rabb, aku telah menahannya dari makan dan syahwat di siang hari, maka izinkanlah aku memberi syafa’at kepadanya. Dan Al-Qur’an berkata: Aku menahannya dari tidur di waktu malam, maka izinkanlah aku memberi syafa’at kepadanya, maka keduanya pun diizinkan memberi syafa’at.” [HR. Ahmad, Shahih At-Targhib: 1429]

6. Orang tua dan guru hendaknya mengingatkan para remaja untuk tidak menjadikan momen “ngabuburit”, “lampa-lampa”, jalan-jalan subuh atau sore jelang berbuka sebagai ajang “cuci mata” dan pacaran dengan jalan bersama lawan jenis yang bukan mahrom.

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنْ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُ وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ

“Sungguh Allâh telah telah menakdirkan atas setiap anggota tubuh anak Adam bagiannya dari zina, dan takdir itu niscaya tidak luput darinya. Zina mata adalah melihat, zina lisan adalah berbicara, jiwa berangan-angan dan berhasrat, dan kemaluan membenarkan hal itu atau mendustakannya.” [HR. al-Bukhâri no. 5889]

7. Tidak membangunkan orang yang berpuasa dengan membunyikan alat musik, lagu-lagu yang diputar sangat keras, atau dengan mercon dan petasan sebab hal itu bisa mengganggu orang yang sedang ibadah sholat malam atau tilawah di akhir malam atau anak-anak yang sedang tidur. Rasulullah SAW bersabda:

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang muslim (yang baik) adalah yang tangan dan lisannya tidak mengganggu/menyakiti orang lain.” (HR. Bukhari, no. 10 dan Muslim, no. 40).

8. Hendaknya menjauhi perkara yang tidak bermanfaat atau sia-sia, misalnya begadang malam tanpa aktifitas ibadah atau hal yang bermanfaat.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ المَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ ” حَدِيْثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَغَيْرُهُ هَكَذَا

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” (Hadits Hasan, diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan lainnya semisal itu pula)

9. Jagalah sholat berjama’ah lima waktu di masjid.

    Allâh Azza wa Jalla berfirman:

    إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ ۖ فَعَسَىٰ أُولَٰئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ

    “Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allâh ialah orang-orang yang beriman kepada Allâh dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain Allâh, maka merekalah yang termasuk golongan orang-orang yang selalu mendapat petunjuk (dari Allâh)” [At-Taubah/9:18]

    Diriwayatkan dari Abu Hurairah, seorang lelaki buta datang kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan berkata,

    يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِى قَائِدٌ يَقُودُنِى إِلَى الْمَسْجِدِ. فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّىَ فِى بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ « هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ ». فَقَالَ نَعَمْ. قَالَ « فَأَجِبْ ».

    “Wahai Rasulullah, saya  tidak memiliki penunjuk jalan yang dapat mendampingi saya untuk mendatangi masjid.” Maka ia meminta keringanan kepada Rasulullah untuk tidak shalat berjama’ah dan agar diperbolehkan shalat di rumahnya. Kemudian Rasulullah memberikan keringanan kepadanya. Namun  ketika lelaki itu hendak beranjak, Rasulullah memanggilnya lagi dan bertanya,“Apakah kamu mendengar adzan?” Ia menjawab,”Ya”. Rasulullah bersabda,”Penuhilah seruan (adzan) itu.” (Hr. Muslim)

    ‘Abdullah bin Mas’ud, beliau berkata,

    مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللَّهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلاَءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ فَإِنَّ اللَّهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِى بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّى هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِى بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ

    “Barangsiapa yang ingin bergembira ketika berjumpa dengan Allah besok dalam keadaan muslim, maka jagalah shalat ini (yakni shalat jama’ah) ketika diseru untuk menghadirinya. Karena Allah telah mensyari’atkan bagi nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam sunanul huda (petunjuk Nabi). Dan shalat jama’ah termasuk sunanul huda (petunjuk Nabi). Seandainya kalian shalat di rumah kalian, sebagaimana orang yang menganggap remeh dengan shalat di rumahnya, maka ini berarti kalian telah meninggalkan sunnah (ajaran) Nabi kalian. Seandainya kalian meninggalkan sunnah Nabi kalian, niscaya kalian akan sesat.” [Muslim: 6-Kitab Al Masajid, 45-Bab Shalat Jama’ah adalah Sunanul Huda]

    Imam Nawawi rahimahullah, mujtahid dalam mazhab Syafi’i berkata,

    لاَ رُخْصَةَ فِي تَرْكِ الجَمَاعَةِ سَوَاءٌ قُلْنَا سُنَّةٌ أَوْ فَرْضُ كِفَايَةٍ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ عَامٍ أَوْ خَاصٍ

    “Tidak ada keringanan meninggalkan shalat berjamaah, baik kita memilih pendapat shalat berjamaah itu sunnah ataukah fardhu kifayah. Boleh meninggalkan shalat berjamaah ketika ada uzur secara umum (seperti hujan lebat) atau pun khusus (Sakit, Sangat lapar atau haus, Ingin buang hajat, takut kecurian, dll).” (Raudhah Ath-Thalibin, 1:240)

    Saking inginnya Rasulullah SAW agar kita pengikut beliau tidak menyia-nyiakan kesempatan berharga ini, sampai beliau berikan peringatan dan ancaman dengan bersabda,

    وَ الَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَمْرِ بِحَظَبٍ فَيَحْطَبْ ثُمَّ أَمْرِ بِالصَّلَاةِ فَيُؤْذَنُ هَا ثُمَّ أَمْرِ رِجَلاً فَيَوْمَ النَّاسِ ثُمَّ أَخَالَفُ إِلَى رِجَالٌ فَاحْرُقِ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ

    “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, ingin kiranya aku memerintahkan orang-orang untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku perintahkan mereka untuk menegakkan salat yang telah dikumandangkan adzannya, lalu aku memerintahkan salah seorang untuk menjadi imam, lalu aku menuju orang-orang yang tidak mengikuti sholat jama’ah, kemudian aku bakar rumah-rumah mereka.” (HR Bukhari dan Muslim)

    Waktu sholat berjama’ah di masjid yang terutama sekali yang dijaga adalah sholat isya dan subuh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    لَيْسَ صَلاَةٌ أثْقَلَ عَلَى المُنَافِقِينَ مِنْ صَلاَةِ الفَجْرِ وَالعِشَاءِ ، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيْهِمَا لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْواً

    “Tidak ada shalat yang paling berat bagi orang munafik daripada shalat Shubuh dan Isya. Seandainya mereka mengetahui pahala keduanya, pasti mereka mendatanginya walaupun dalam keadaan merangkak.” (HR. Bukhari, no. 657 dan Muslim, no. 651).

    10. Semakin serius dan sungguh-sungguh beribadah di 10 hari terakhir dan mengejar keutamaan lailatul Qodar. Sebagaimana Ummul Mu’minin Aisyah radhiyallahu ‘anha– berkata,

      كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ

      “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.” (HR. Muslim)

      11. Hendaknya menghidupkan I’tikaf di 10 malam terakhir Ramadhan.

        Ibunda ‘Aisyah Ra berkata,

        أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

        “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.” (HR. Bukhari no. 2026 dan  Muslim no. 1172.)

        12. Menyempurnakan amalan Ibadah Ramadhan dengan melaksanakan ibadah sunnah seperti memberi makan orang yang berpuasa, mengakhirkan makan sahur, segera berbuka pada waktunya, banyak bersedekah, dan lain-lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

          إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِى وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ

          “Allah Ta’ala berfirman: Barangsiapa memerangi wali (kekasih)-Ku, maka Aku akan memeranginya. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib yang Kucintai. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 2506).

          14. Menunaikan pembayaran zakat fitrah sesuai ketentuan kepada Lembaga Amil zakat sebesar 2,5 kilogram atau 3,5 liter beras untuk diri sendiri dan keluarga yang ditanggung.

            فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.

            “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.” (HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827, hasan)

            15. Melaksanakan sholat Idul Fitri dengan khusyu’ dan bergembira di hari raya dengan tidak melanggar syari’ah dan tidak berlebih-lebihan (mubadzir dan israf), saling bersilaturahim dan mengucapkan selamat.

              Allah ‘azza wa jalla berfirman:

              قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

              “Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus [10]: 58)

              فعن جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ قَالَ : كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اِلْتَقَوْا يَوْمَ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك

              Dari Jubair bin Nufair, ia berkata bahwa jika para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjumpa dengan hari ‘ied (Idul Fithri atau Idul Adha, pen), satu sama lain saling mengucapkan, “Taqabbalallahu minna wa minka (Semoga Allah menerima amalku dan amal kalian).” Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. (Fath Al-Bari, 2: 446)

              Kota Bima, 24 Sya’ban 1445 H / 05 Maret 2024



              Tinggalkan komentar

              About Me

              M. Syukrillah, S.Th.I, M.Ag. Alumni Ma’had Umar bin al-Khattab Surabaya UMSIDA, IAIN Sunan Ampel Surabaya dan UIN Sunan Ampel Surabaya

              Newsletter